Rabu, 23 Maret 2011

pesona alam dan bocah gimbal dieng

dieng
Pesona alam Dieng
Tak kenal maka tak sayang, pepatah ini sangat tepat bagi Anda pemilik jiwa petualang yang senang berkelana dari saru daerah ke daerah lainnya di bumi nusantara yang terkenal elok dan indah ini.
Satu bulan puasa mungkin membuat Anda memilih untuk istirahat berkelana, demi menjalankan ibadah puasa. Sambil menjalankan ibadah puasa, tidak ada salahnya Anda mempersiapkan daerah-daerah yang akan menjadi tempat tujuan Anda untuk disinggahi setelah lebaran mendatang.
Salah satu kawasan yang bisa Anda pertimbangkan adalah kawasan wisata dan budaya Dieng, Jawa Tengah. Kawasan wisata Dieng terdapat 21 objek wisata dan kini masih menjadi wisata andalan bagi daerah ini untuk menyedot wisatawan nusantara maupun asing.

Puluhan objek wisata itu memiliki aneka ragam “atraksi alam” baik berupa telaga, gua, sumber air panas, air terjun, dan yang lainnya. selain objek wisata alam, kawasan Dieng juga memiliki atraksi budaya berupa hasil olah budi manusia, misalnya seni pertunjukan tari Angguk, dan tradisi cukur rambut gembel serta beraneka ragam seni kerajinan.
Sedangkan peninggalan bersejarah meliputi kelompok Candi Arjuna, Candi Dwarawati, Candi Gatotkaca, Candi Bima, watu kelir, tuk Bimolukar dan Ondho Buddho.
Dieng adalah sebuah kawasan di daerah dataran tinggi di perbatasan antara Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Desa Dieng terbagi menjadi Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara dan Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo.
Kawasan ini terletak sekitar 26 km di sebelah Utara ibukota Kabupaten Wonosobo, dengan ketinggian mencapai 6000 kaki atau 2.093 m di atas permukaan laut. Suhu di Dieng sejuk mendekati dingin. Temperatur berkisar 15—20°C di siang hari dan 10°C di malam hari.
Bahkan, suhu udara terkadang dapat mencapai 0°C di pagi hari, terutama antara Juli—Agustus. Penduduk setempat menyebut suhu ekstrem itu sebagai bun upas yang artinya “embun racun” karena embun ini menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian.
Sambil menikmati wisata alam yang akan membuat Anda terkagum-kagum, kisah penduduk berambut gimbal tak kalah menariknya untuk Anda simak dan ketahui. Makanya, jangan heran jika saat berwisata ke Dataran Tinggi Dieng, Anda berjumpa dengan anak-anak kecil yang berambut gimbal atau oleh penduduk setempat disebut rambut “gembel”.
Jangan mencela anak berambut gimbal itu, karena celaan itu akan menyakiti perasaan orang tuanya. Rambut gimbal atau gembel yang dimiliki anak-anak Dataran Tinggi Dieng itu bukan lantaran rambut mereka tak diurus, tapi tumbuh dengan sendirinya.
Bahkan pemangku adat masyarakat Dieng, Mbah Naryono (60) meyakini anak-anak berambut gembel ini adalah anak bajang titipan Ratu Kidul (Ratu Laut Selatan).
“Anak berambut gembel berjenis kelamin laki-laki merupakan titisan Eyang Agung Kala Dete, sedangkan yang perempuan titisan Nini Ronce Kala Prenye. Mereka adalah titipan anak bajang dari Ratu Samudera Kidul,” katanya.
Gimbal pada rambut anak-anak Dieng berbeda dengan rambut gembelnya almarhum Mbah Surip. Rambut gimbal Mbah Surip dibentuk dengan sengaja, melalui proses pengepangan, sedangkan rambut gimbal anak-anak Dieng tumbuh dengan sendirinya.
Selain di Dataran Tinggi Dieng lereng Gunung Prahu, anak-anak berambut gembel juga dapat dijumpai di lereng Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, dan Gunung Rogojembangan.
Menurut dia, rambut gembel pada anak-anak ini tidak tumbuh dengan sendirinya karena bisanya diawali dengan sakit lebih dulu. “Jadi setiap gembelnya akan tumbuh, anak-anak itu lebih dulu sakit. Namun setelah gembelnya tumbuh semua, mereka tidak akan sakit-sakitan lagi,” katanya.
Setelah gembelnya tumbuh, kata dia, rambut anak-anak tersebut tidak pernah disisir karena hal itu justru akan membuatnya sakit. Saat ditanya mengenai jenis-jenis rambut gembel, dia mengaku tidak mengetahuinya secara pasti.
Sejumlah masyarakat setempat mengatakan, rambut gembel ini terdiri empat jenis, yakni gembel pari (gembel padi yang memiliki ukuran paling kecil seperti padi), gembel jagung (seperti rambut jagung), gembel jatah (gembelnya hanya beberapa helai), dan gembel wedus atau kambing (gembel yang ukurannya paling besar).
Konon, gembel pari jarang ada yang memilikinya sedangkan jenis gembel lainnya banyak dijumpai di Dataran Tinggi Dieng. Terkait upaya menghilangkan rambut gembel ini, Mbah Naryono mengatakan, hal itu dapat dilakukan dengan cara ruwatan, yakni ritual memotong rambut tersebut.
“Kalau dipotong sendiri tanpa melalui acara ruwatan, sang anak akan sakit dan rambut gembelnya akan kembali tumbuh, sehingga harus melalui acara ruwatan,” katanya.
Menurut dia, anak-anak tersebut diyakini tidak akan berambut gembel lagi setelah menjalani ruwatan. “Saya dulunya juga berambut gembel tetapi sekarang tidak lagi,” ujarnya.
Ia mengatakan, acara ruwatan rambut gembel dapat dilakukan kapan saja sesuai kemampuan orang tua karena biayanya tidak sedikit dan hal itu atas permintaan sang anak. Jika anaknya belum berkehendak, kata dia, orang tua tidak bisa memaksanya meskipun orang tua memiliki dana untuk menggelar ruwatan tersebut.
“Dana untuk ruwatan memang tidak sedikit karena orang tua harus menuruti apapun permintaan sang anak yang akan diruwat,” katanya.
Selain itu, kata dia, berbagai sesaji juga harus disiapkan, antara lain nasi tumpeng tujuh warna, jajan pasar, buah-buahan, dan ingkung ayam.
Kendati di Dataran Tinggi Dieng banyak dijumpai anak-anak berambut gembel, tidak semuanya mengikuti ruwatan karena mereka belum menginginkan rambutnya dipotong. Konon, keinginan untuk mengikuti ruwatan ini merupakan permintaan dari roh halus yang mendamping sang anak berambut gembel tersebut.(*bbs/z)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...